Baca selengkapnya
Laporan
Pendahuluan
HIV-
AIDS dengan TB Paru
1. HIV-AIDS
1.1.
Pengertian
·
HIV merupakan
singkatan human immunodeficiency virus.
·
Human artinya manusia,
·
Imuno artinya sistem imun atau sistem kekebalan,
·
deficiency artinya kekurangan/kerusakan,
human immunodeficiency virus |
·
AIDS adalah singkatan
dari acquired immunodefisiency syndrome.
·
Acquired artinya didapat atau diperoleh,
·
Imunodeficiency artinya sistem imun mengalami kerusakan dan
tidak dapat berfungsi untuk melawan infeksi atau penyakit.
·
Syndrome artinya gabungan dari tanda-tanda atau
gejala fisik.
Jadi, AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat seseorang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh virus HIV.
·
Virus HIV yang dapat
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. Dengan demikian paparan infeksi oleh bakteri sangat mudah
menginfeksi penderita AIDS karena sistem imun yang tidak mampu melakukan
fungsinya sebagai pertahanan tubuh secara normal.
1.1. Etiologi
Penyebab AIDS adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency
Virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang
diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang patogen dibandingkaan
dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. AIDS disebabkan oleh virus yang
mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV yang nama ilmiahnya disebut
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan
retrovirus yang ditularkan oleh darah dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap
limfosit T.
AIDS
disebabkan oleh virus HIV, faktor
resiko kelompok yang memiliki kerentanan terinfeksi HIV:
1. Lelaki homoseksual atau biseks. .
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
6. Orang yang melakukan seks bebas tanpa memakai pelindung
(kondom)
7. Pengguna jarum suntik secara bersama-sama (biasanya para
pengguna narkoba).
8. Penerima
transfusi darah.
9. Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi
virus HIV.
1.1.
Manifestasi klinis
Transmisi infeksi HIV
dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
- Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Virus HIV masih dalam bentuk RNA. Tidak ada gejala.
- Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness (demam, lemas, pegal-pegal, sakit kepala, menggigil, mual, dan muntah).
- Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
- Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
- AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
Berdasarkan hasil workshop di Bangui, Afrika Tengah, bulan Oktober 1985,
telah disusun suatu ketentuan klinik (untuk negara-negara yang masih belum
memiliki fasilitas diagnostik yang cukup) sebagai berikut:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua
gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
Gejala Mayor:
1.
Penurunan berat badan lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan
3.
Demam lebih dari 1 bulan (kontinyu atau intermitten)
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5. Demensia/ HIV enselopati
Gejala Minor:
1. Batuk lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis pruritik umum
3. Herpes zoster recurrens
4. Kandidiasis oro-faring
5. Limfadenopati generalisata
6. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
7. Onikomikosis
8. Dermatofitosis
b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit dua gejala
mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab-sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
Gejala Mayor:
1.
Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan
3. Demam lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
1. Limfadenopati generalisata
2. Kandidiasis oro-faring
3. Infeksi umum yang berulang
4. Batuk persisten
5. Dermatitis generalisata
6. Infeksi HIV pada ibunya
Kriteria WHO menyusun klasifikasi klinis dari
infeksi HIV sebagai berikut:
·
Stadium Klinis I
-
Asimtomatis
-
Limfadenopati Meluas Persistent
- Skala Aktivitas I:
asimtomatis, aktivitas normal
·
Stadium Klinis II
-
Berat badan menurun <10% dari BB semula
-
Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti
dermatitis seboroik, infeksi jamur kuku, ulkus oral yang rekuren, Cheilitis
angularis
-
Herpes zoster dalam 5 tahun terakir
-
Infeksi saluran napas bagian atas seperti
sinusitis bakterial
-
Skala Aktivitas 2: simtomatis, aktivitas normal
·
Stadium Klinis III
-
Berat badan menurun >10% dari BB semula
-
Diare kronis yang berulang
-
Demam tanpa sebab yang jelas yang (intermiten
atau konstan) > 1 bulan
-
Kandidiasis Oral (thrush)
-
Hairy leukoplakia oral
-
TB paru, dalam 1 tahun terakir
-
Infeksi bakteri berat (pnemonia, pyomiositis)
- Skala Aktivitas 3:
selama 1 bulan terakir tinggal di tempat
tidur <50%
·
Stadium Klinis IV
-
HIV wasting syndrome (BB turun 10% ditambah diare kronik > 1 bln atau
demam >1 bln yg tidak disebabkan penyakit lain)
-
Pneumocystis carinii pneumonia
-
Toxoplasmosis pada otak
-
Cryptosporidosis dgn diare >1 month
-
Cryptococcosis, extrapulmonary
-
Cytomegalovirus (CMV) pada organ selain liver, spleen,
lymph nodes
-
Herpes simplex virus (HSV) mucocutaneous >1 month,
-
Progressive multifocal leukonenphalopathy (PML)
-
Mikosis dissemina (histoplasmosis, coccidioidmycosis)
-
Candidiasis esophagus, trachea, bronchi atau lungs
-
Atypical mycobacteriosis dissemina
-
Non-typhoid Salmonella septicemia
-
Extrapulmonary tuberculosis
-
Lymphoma
-
Kaposi’s Sarcoma (KS)
HIV
encephalopathy (Gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yg mengganggu
aktivitas hidup sehari hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yg
tidak disertai penyakit lain selain and/or Performance scale 4: bed-ridden,
>50% or the day during the last month
Tabel manifestasi klinik AIDS berdasarkan system organ
yang terinfeksi:
Manifestasi-manifestasi klinik
AIDS
|
||
No
|
Kemungkinan penyebab
|
Kemungkinan efek
|
1.
|
Manifestasi oral
|
|
Lesi-lesi karena: candida, herpes simpleks, sarcoma kaposi’s; kutil papilomavirus
oral, ginginitis peridontitis
HIV; leukoplakia oral
|
Nyeri oral mengarah pada kesulitan mengunyah dan
menelan, penurunan masukan cairan dan nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan dan keletihan, cacat.
|
|
2
|
Manifestasi neurologic
|
|
a. Kompleks dimensia AIDS karena: serangan langsung HIV
pada sel-sel syaraf
|
· Perubahan kepribadian, kerusakan kognitif, konsentrasi dan penilaian
· kerusakan kemampuan motorik
· kelemahan; perlu bantuan dengan ADL atau tidak mampu melakukan ADL
· tidak mampu untuk berbicara atau mengerti
· paresis/plegia
· inkontinensia urin
· menyusahkan pemberi perawatan
· ketidak mapuan untuk mematuhi regimen medis
· ketidakmampuan untuk bekerja
· isolasi sosial
|
|
b. Enselofati akut karena
· Reaksi obat-obat terapeutik,
· Takar lajak obat
· Hipoksia
· Hipoglikemi karena pankreatitis akibat obat
· Ketidakseimbangan elektrolit
· Meningitis atau ensefalitis yang diakibatkan oleh cryptococus, virus herpes simpleks, sitomegalovirus, mycobacterium tuberculosis, sifilis, candida, toxoplasma gondii
· Limfoma
· Infark serebral akibat vaskulitis, sifilis meningovaskuler, hipotensi
sistemik, maranik endokarditis
|
·
Sakit kepala
·
Malaise
·
Demam
·
Paralysis total atau
parsial; kehilangan kemampuan kognisi, ingatan, penilaian, orientasi atau
afek yang sesuai, penyimpangan sensorik; kejang, koma dan kematian
|
|
a.
Neuropati
karena inflamasi demielinasi diakibatkan serangan HIV langsung, reaksi obat,
lesi sarcoma kaposi’s
|
Kehilangan control motorik; ataksia, kebas bagian
perifer, kesemutan, rasa terbakar, depresi refleks, ketidakmampuan untuk
bekerja, isolasi sosial
|
|
3
|
Manifestasi gastrointestinal
|
|
a. Diare
cryptosporidium,
isopora belli, microsporidum, sitomegalovirus,
virus herpes simpleks, mycobacterium
avium intacelulare, strongiloides stercoides, enterovirus, adenovirus,
salmonella, shigella, campylobacter, vibrio parahaemiliticus, candida,
histoplasma capsulatum, giardia, entamoba histolytica, pertumbuhan cepat
flora normal, limfoma dan sarcoma kaposi’s
|
Penurunan berat badan, anoreksia, Demam, dehidrasi, malabsorpsi (malaise,
kelemahan dan keletihan) Kehilangan kemampuan untuk melakukan funsi social
karena ketidakmampuan meninggalkan rumah
inkontinesia
|
|
b. Hepatitis
mycobacterium avium
intacelulare, cryptococus, sitomegalovirus, histoplasma,
coccidiomycosis, microsporidum,
virus epsten-barr, virus-virus hepatitis(A, B, C, D) dan E, limfoma, sarcoma
kaposi’s, penggunaan obat illegal, penggunaan alcohol, penggunaan obat
golongan sulfa
|
Anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterik,
demam, malaise, kemerahan, nyeri persendia, keletihan(hepatomegali, gagal
hepatic,kematian)
|
|
c. Disfungsi biliari
kolangitis akibat sitimegalovirus dan cryptosporidium:
limfoma dan sarcoma kaposi’s
|
Nyeri abdomen, anoreksia, mual dan muntah ikterik
|
|
d. Penyakit anorectal
karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang diakibatkan dari infeksi oleh chlamydia, lymphogranulum venereum, gonore, sifilis, shigella, campylobacter, M tuberculosis,
herpes simpleks, candida, herpes
simpleks, sitomegalovirus, obstruksi candida
albicans karena limfoma sarcoma kaposi’s; kutil papilomavirus
|
Eliminasi yang sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal, diare
|
|
4
|
Manifestasi respiratori
|
|
Infeksi
Pneumocytis carinii, mycobacterium
avium intracelulare, Mtuberculosis,
Candida, Chlamydia, histoplasma capsulatum, toxoplasmagondii, coccidiodes
immitis, Cryptococcus neoforms, sitomegalovirus, virus-virus influenza,
pneumococcus, strongyloides
|
Napas pendek, batuk, nyeri(hipoksia, intoleransi
aktifitas, keletihan; gagal respiratori, kematian)
|
|
limfoma dan sarcoma kaposi’s
|
Napas pendek, batuk, nyeri(hipoksia, intoleransi
aktifitas, keletihan; gagal respiratori, kematian)
|
|
5
|
Manifestasi dermatologic
|
|
·
Lesi-lesi kulit
stafilokokus(bullous impetigo, etkima, folikulitis),
·
Lesi-lesi virus herpes simpleks
(oral, fasial, anal dan vulvovaginal)
·
Herpes zoster
·
Lesi-lesi miobakteri kronik
timbul diatas nodus-noduls limfe atau sebagai ulserasi atau macula hemoragik
·
Lesi lain berhubungan dengan
infeksi pseudomonas aeruginosa,
molluscum contangiosum, candida albicans, cacing gelang, Cryptococcus, sporoticosis (dermatitis
yang disebabkan oleh xerosis reaksi obat trutama sulfa
·
Lesi dari parasit seperti
scabies atau tuma ; sarcoma kaposi’s, dekubitus, dan kerusakan integritas
kulit akibat lamanya tekanan dan inkontinens
|
Nyeri, gatal-gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan
sepsis, cacat dan perubahan citra diri
|
|
6
|
Manifestasi sensorik
|
|
a. Pandangan
Sarcoma kaposi’s pada konjugtiva atau kelopak mata,
retinis sitomegalovirus
|
Kebutaan
|
|
b. pendengaran
Otitis eksternal akut dan otitis media; kehilangan
pendengaran yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus
dan reaksi-reaksi obat
|
Nyeri dan kehilangan pendengaran
|
Penderita
HIV seringkali mengalami kondisi penyembuhan penyakit yang lebih lama dari
orang normal. Misanya penderita mengalami influenza, pada orang normal flu akan
sembuh dengan sendirinya sembuh kurang lebih 1 minggu tapi pada penderita HIV
bisa sampai berbulan2 bahkan bisa meninggal karena infliensa yang tidak kunjung
sembuh.
Dengan
demikian Tanda dan gejala sebagai manifestasi klinis penderita HIV tidak dapat
dijelaskan secara spesifik seperti penyakit lain karena sindrom yang terjadi
bisa sangat luas sehingga secara umum dapat dijelaskan dengan kondisi klinis
sebagai berikut:
1.
Kategori Klinis A
Mencakup
satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/ remaja dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori klinis B dan C. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
simptomatik. Limpanodenopati generalisata yang persisten (PGI : Persistent
Generalized Limpanodenophaty ). Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
2. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1.
Angiomatosis Baksilaris
2. Kandidiasis Orofaring/ Vulva vaginal (peristen,frekuen /
responnya jelek terhadap terapi
3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in
situ )
4. Gejala
konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1
bulan.
5. Leukoplakial
yang berambut
6. Herpes
Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu
dermaton saraf.
7. Idiopatik
Trombositopenik Purpura
8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
3. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2. Kanker
serviks invasif
3. Koksidiomikosis
ekstrapulmoner / diseminata
4. Kriptokokosis
ekstrapulmoner
5. Kriptosporidosis
internal kronis
6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7. Refinitis
Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8. Enselopathy
berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9. Herpes
simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10. Histoplamosis
diseminata / ekstrapulmoner )
11. Isoproasis
intestinal yang kronis
12. Sarkoma
Kaposi
13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner /
ekstrapulmoner )
15. Mycobacterium,
spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
16. Pneumonia
Pneumocystic Cranii
17. Pneumonia
Rekuren
18. Leukoenselophaty
multifokal progresiva
19. Septikemia
salmonella yang rekuren
20. Toksoplamosis
otak
21. Sindrom
pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
1.1.
Patofisiologi
Sel
T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian
virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan
ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi
sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan
sel yang terinfeksi.
Virus
HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan
kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper
tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV
didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV
yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan
tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan
menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif.
Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat
tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama
waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah
sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
- HIV masuk ke sirkulasi
- HIV menempel pada reseptor sel CD4 (Fi)
- HIV menginvasi dan mengosongkan isinya ke dalam CD4
- RNA HIV diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase (NRTI & NNRTI)
- DNA HIV disatukan oleh DNA host oleh enzim integrase
- Waktu CD4 bereplikasi, HIV juga ikut bereplikasi sehingga terbentuk provirus baru
- Provirus baru semakin banyak dan berkumpul di dalam CD4
- Provirus baru saling menonjol ingin keluar dari sel CD4 (Bounding)
- Provirus bounding keluar dari sel CD4 dan dipotong oleh enzim protease sehingga menjadi lebih banyak dan terbentuk virus baru (Fi)
- HIV baru menginvasi CD4 yang lainnya
1.2.
Pemeriksaan diagnostiK
1. Tes Serologis
·
Rapid test dengan
menggunakan reagen SD HIV, Determent, dan Oncoprobe. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan pengamatan visual. Klien dinyatakan positif HIV apabila hasil
dari ketiga tes tersebut reaktif. Tes ini paling sering digunakan karena paling
efektif dan efisien waktu.
·
ELISA
The Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA)
mengidentifikasi antibodi yang secara spesifik ditunjukkan kepada virus HIV. Tes ELISA
tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS tetapi lebih menunjukkan seseorang
pernah terinfeksi oleh HIV. Orang yang darahnya mengandung antibodi untuk HIV
disebut dengan orang yang seropositif.
·
Western blot
Digunakan untuk memastikan seropositivitas seperti
yang teridentifikasi lewat ELISA.
·
PCR
(Polymerase Chain Reaction)
Mendeteksi DNA virus dalam
jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
· P24
( Protein Pembungkus Human Immunodeficiency Virus (HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif
protein mengidentifikasi progresi infeksi.
2. Tes untuk deteksi gangguan sistem imun:
§ Limfosit
Penurunan limfosit plasma <1200.
§ Leukosit
Hasil yang
didapatkan bisa normal atau menurun.
§ CD4
menurun <200
§ Rasio CD4/CD8
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel
suppressor pada sel helper ( CD8
ke CD4 )
mengindikasikan supresi imun.
§ Albumin
1.3.
Dampak HIV/AIDS
A.
Psikologi
HIV adalah penyakit terminal dan kronis. Jika seseorang yang hamil
terdiagnosa dengan HIV, maka seseorang tersebut akan merasa seperti terdakwa
mati, dan merasakan kecemasan yang sangat, dan ketakutan, ketakutan atau
kecemasan tersebut tidak hanya berasal dari stigma penyakit itu sendiri, tetapi
juga karena adanya penurunan sistem imun yang menyebabkan peningkatan resiko
infeksi, misalnya vaginitis, herpes, dan penyakit kelamin lain yang dianggap
buruk oleh masyarakat. Dengan kondisi fisik yang seperti itu maka dapat
menurunkan harga diri sang ibu, sehingga sang ibu mengalami gangguan body
image.
Dampak psikologi yang lain yaitu depresi. Depresi terjadi karena dia
terdiagnosa HIV dan merasa tanpa harapan. Karena sifat dari virus itu sendiri
yang menyerang sistem pertahanan primer tubuh. Hal itu dapat diikuti dengan
perasaan bersalah tentang perilaku masa lalu, kesedihan yang mendalam mengenai
dirinya.
B.
Isolasi
Tidak jarang penderita HIV mengalami kesedihan karena diisolasi oleh
keluarganya atau masyarakat. Karena terdapat banyak pendapat untuk memasukkan
ODHA ke tempat penampungan khusus penderita HIV/AIDS. Hal itu berarti suatu
diskriminasi dan isolasi terhadap ODHA. Padahal tanpa melakukan kontak seksual
maupun kontak darah dengan ODHA, HIV/AIDS yang ada pada tubuh ODHA tidak akan
menular ke individu lain, termasuk kepada OHIDA. Selain itu orang dengan status
terinfeksi HIV masih produktif seperti orang sehat pada umumnya.
Hal lain yang dapat membuat seseorang merasa depresi adalah isolasi dari
keluarga dan masyarakat. Keluarga mungkin bertanya-tanya mengapa dia bisa
terinfeksi HIV. Bisa saja karena tertular oleh suami. Namun, keluarga tidak mau
tahu hal itu sehingga tetap mengisolasi.
Sebagian masyarakat melakukan diskriminasi karena kurang memperoleh
informasi yang benar bagaimana cara penularan HIV/AIDS, hal-hal apa saja yang
dapat menularkan dan apa saja yang tidak dapat menularkan. Ketakutan terhadap
HIV/AIDS sebagai penyakit yang mematikan. Sehingga mereka belum percaya
sepenuhnya informasi yang diberikan.
C.
Stigma
HIV merupakan penyakit yang paling ditakuti di masyarakat. Karena pada
faktanya penyakit tersebut bisa ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh,
paling banyak melalui kontak seksual dan pemakaian obat-obatan IV. Hal itu
menambah stigma tentang HIV bahwa seseorang dengan HIV tersebut bukan merupakan
orang baik-baik. Anggapan itu akan muncul bila masyarakat belum mengetahui
informasi yang benar tentang HIV. Padahal bisa saja seseorang yang terkena HIV
adalah petugas kesehatan yang terpapar dengan cairan penderita HIV.
Pada kenyataanya issu yang berkembang, orang dengan HIV mendapatkan suatu diskriminasi
di masyarakat, pekerjaan, dan perawatan kesehatan. Dengan adanya stigma
tersebut maka seseorang yang berisiko tinggi terkena HIV akan merasa malu jika
ingin memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan.
D.
Fisik
Ø Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV
oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
Ø Neurologik
§ kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian,
kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
§ Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan
efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
§ Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis.
§ Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan
Human Immunodeficienci Virus (HIV)
Ø Gastrointestinal
§
Diare
karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
§
Hepatitis
karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
§
Penyakit
Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal dan siare.
Ø Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus,
virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
Ø Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan
efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
Ø Sensorik
§
Pandangan
: Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
§
Pendengaran
: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri
1.4.
Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan |
||
Rute paparan
|
Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan dengan sumber yang terinfeksi |
|
Transfusi darah
|
9.000
|
|
Persalinan
|
2.500
|
|
Penggunaan jarum suntik
bersama-sama
|
67
|
|
Hubungan seks anal
reseptif*
|
50
|
|
Jarum pada kulit
|
30
|
|
Hubungan seksual reseptif*
|
10
|
|
Hubungan seks anal
insertif*
|
6,5
|
|
Hubungan seksual insertif*
|
5
|
|
Seks oral reseptif*
|
1
|
|
Seks oral insertif*
|
0,5
|
|
* tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral yang dilakukan kepada laki-laki |
Tiga jalur utama (rute) masuknya
virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta
dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan
urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.
1. Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV.
Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom
pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki
berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif
saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular
seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan
minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena
bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika
diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan
kondom poliuretan.
Kondom wanita
adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina-untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan
meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom
wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya
terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju
infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per
tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju.
Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda
yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang
HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.
Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan
transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang
menggunakan uji acak
terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria
heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan
digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun
penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah
kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan
ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya
dalam bahasa
Indonesia: “Anda jauhi seks, Bersikap saling setia
dengan pasangan, Cegah dengan kondom”
2. Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan
universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu
mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna
narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok,
air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang
baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat
gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman.
Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian
perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
3. Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang
penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).
Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan
pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari
semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal
di Afrika Sub Sahara.
1.5.
Penatalaksanaan
Belum ada
penyembuhan untuk AIDS, jadi
perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah
terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
- Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
- Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
- Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
- Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
- Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir
Apabila terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka penatalaksanaanya
yaitu :
- Konseling
Dengan adanya
masalah-masalah baik fisik maupun psikologis yang terdapat pada penderita HIV,
maka untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara bicara dengan
seorang konselor tentang perasaan dan dengan dokter tentang:
·
Dampak HIV
·
Perkembangan HIV
·
Penggunanan
pengobatan antiretrovirus dan lainnya
·
Konsepsi yang aman jika partner HIV-negatif.
- Nutrisi Dan Latihan
Beberapa wanita dengan HIV mungkin akan sulit
untuk meningkatkan berat badan. Karena efek samping dari pengobatan HIV mungkin
akan sulit untuk meningkatkan berat badan atau bahkan dapat menyebabkan
penurunan berat badan. Pada kunjungan pertama pengkajian yang teliti pada
status nutrisi harus dilakukan.
- Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Seseorang
dengan HIV akan mengalami penurunan CD4 dimana sel tersebut berfungsi sebagai
sistem pertahanan tubuh. Dengan adanya penurunan CD4 maka akan terjadi
penurunan daya tahan tubuh. Sehingga diperlukan penanganan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh tersebut yaitu melalui obat, nutrisi dan latihan. Hal tersebut
bertujuan menghilangkan,
mengendalikan, dan pemulihan infeksi oppurtunistik,nasokomial, atau sepsis.
Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
- Terapi ARV
Tujuan Terapi antiretroviral ditujukan untuk
- Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup
- Mencegah progresi dan infeksi oportunistik
- Menurunkan angka kematian terkait AIDS
- Menurunkan terjadinya penurlaran kepada orang lain
Klasifikasi
antiretroviral:
1.
Entry
Inhibitor (fussion inhibitor, CCR5 inhibitor, CXCR4 inhibitor)
mencegah masuknya HIV kedalam sel yang mempunyai reseptor
CD4 sehingga sel tidak terinfeksi oleh HIV
contoh: FI =
Enfuvirtide (ENF)
CCR5 antagonis = Maraviroc
(MRV)
2.
Reverse
Transciptase Inhibitor
Mencegah perubahan HIV-RNA menjadi HIV
DNA sehingga HIV tidak dapat masuk sel inti sel limfosit dan tidak dapat
mengalami pembelahan sel
·
NRTI menghambat pembentukan
enzim reverse transkiptase
Contoh : Zidovudine
(AZT), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC) Didanosine
(ddI), Abacavir
(ABC), Zalcitabine
(ddC) dan Emtricitabine
(FTC)
·
NtRTI
Contoh : Tenofovir
(TDF)
·
NNRTI
dengan membentuk sel bayangan CD4
Contoh : Efavirens (EFV),
Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV)
3.
Integrase
Inhibitor
contoh: Raltegravir
4.
Protease
Inhibitor
contoh: Lopinavir (LPV),
Indinavir (IDV), Nelfinafir (NFV), Saquinavir (SQV),
Amprenavir (APV), Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fosamprenavir (FPV),
Tipranavir (TPV) dan Darunavir (DRV)
5.
Maturation
Inhibitor
6.
Cd4
Binding Inhibitor
Diindonesia pemberian program terapi untuk HIV. Program
primer disebut lini 1 yaitu Zidovudine
(AZT), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Efavirens (EFV), Nevirapine (NVP) bila
terjadi resistensi akan diberikan terapi lini 2 yaitu: Didanosine (ddI), Tenofovir (TDF) dan Lopinavir (LPV).
- Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin
dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis
dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk
menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
- Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
- Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Pemberian terapi
selalu menggunakan minimal kombinasi 3 obat ARV hal ini dimaksudkan agar
mengurangi kesempatan virus untuk bermutasi menjadi resisten terhadap obat ARV
(HAART= Highly Active Anti Retoviral Therapy). Berikut
konsep umum pemberian ARV terbagi dalam 4 fase:
1. fase
start
Fase dimana dilakukan serangkaian
pemeriksaan , evaluasi klinis dan pemberian konseling kepada klien untuk
memahami tujuan terapi, dan pemilihan kombinasi ARV yang dirasa sesuai, memulai
pemberian terapi, mengevaluasi dan melakukan pemberhentian sementara dan
memulainya lagi.
2. fase
substitute
Mengganti salah satu obat ARV pada lini 1 dengan alas an
sebagai berikut:
Toksisitas, Efek samping, Hamil/ Risiko
Hami, TB aktif, Ada obat baru, Stok obat habis
3. fase
switch
Mengganti semua regimen ARV (beralih ke lini 2) dengan
alas an gagal pengobatan secara klinis, imunologis dan virologist.
4. fase
stop
Menghentikan pengobatan ARV dengan alasan fase-fase yang
terlewati menimbulkan toksiksitas yang semakin parah, hamil, gagal pengobatan,
kepatuhan buruk, sakit/mrs, stok obat habis, kekurangan biaya dan keputusan
pasien.
1.
TB Paru
2.1
PENGERTIAN
Tuberculosis (TB) adalah penyakit
akibat kuman mycobakterium tuberkulosis sistemis sehingga dapat mengenai semua
organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer (Arif Mansyur, 2000)
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang
terutama menyerang parenkin paru. Tuberculosis
dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe (Brunner dan Suddat, 2003: hal 584).
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi
saluran napas bagian bawah yang menyerang jaringan paru atau atau parinkin paru
oleh basil mycobakterium tuberkulosis, dapat mengenai hampir semua organ tubuh
(meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe, dll)dengan lokasi terbanyak diparu,
yang biasanya merupakan lokasi primer.
2.2
ETIOLOGI
Agen
infeksius utama, mycobakterium tuberkulosis adalah batang aerobik tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultra violet,
dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um. Yang tergolong kuman
mycobakterium tuberkulosis complex adalah:
1. Mycobakterium tuberculosis
2. Varian asian
3. Varian african I
4. Varian asfrican II
5. Mycobakterium bovis
Kelompok kuman mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterial
othetan Tb (mott, atipyeal) adalah :
1. Mycobacterium cansasli
2. Mycobacterium avium
3. Mycobacterium intra celulase
4. Mycobacterium scrofulaceum
5. Mycobacterium malma cerse
6. Mycobacterium xenopi
Tuberculosis
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Penyebaran
kuman Mycobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Infeksi
kuman ini sering terjadi melalui udara (airbone) yang cara penularannya dengan
droplet yang mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnyan
(Sylvia.A.Price.1995.hal 754 ).
2.3
PENULARAN DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO
Tuberculosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui
udara. Individu terinsfeksimelalui berbicara, batuk, bersin, tertawa atau
bernyanyi, melepaskan droplet besar ( lebih besar dari 100u ) dan kecil ( 1
sampai 5 u ). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan
diudara dan tertiup oleh individu yang rentan. Individu yang beresiko tinggi
untuk tertular tuberculosis adalah :
·
Mereka
yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif
·
Individu
imunosupresif (Termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi
kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi dengan HIV)
·
Pengguna
obat-obatan IV dan alkoholik
· Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma, tahanan, etnik dan ras
minoritas terutama anak-anak dibawah usia 15 tahun atau dewasa muda antara yang
berusia 15-44 tahun )
· Setiap
individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalnya diabetes, gagal ginjal
kronis, silikosis, penyimpangan gizi, bypass gasterektomi yeyunoileal )
·
Imigran
dari negara dengan insiden TB yang tinggi ( Asia tenggara, Afrika, Amerika
latin, karibia )
·
Setiap
individu yang tinggal di institusi ( misalnya fasilitas perawatan jangka
panjang, institusi psikiatrik, penjara )
·
Indivudi
yang tinggal didaerah perumahan substandart kumuh
·
Petugas
kesehatan
2.4
KLASIFIKASI
TUBERCULOSIS
2.4.1.
Klasifikasi
dari sistem lama
1. Pembagian
secara patologis :
• Tuberculosis primer ( Child hood tuberculosis )
• Tuberculosis post primer ( Adult tuberculosis )
2. Pembagian secara aktifitas radiologis :
Tuberculosis paru ( Koch pulmonal ) aktif, non aktif dan
quiesent (batuk aktif yang mulai sembuh
)
3. Pembagian
secara radiologis ( Luas lesi )
· Tuberculosis
minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat non kapitas pada satu
paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
· Moderateli advanced tuberculosis
Ada kapitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah
infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru
·
For
advanced tuberculosis
Terdapat infiltrat dan kapitas yang melebihi keadaan pada
moderateli advanced tuberculosis.
2.4.2.
Berdasarkan aspek kesehatan
masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic Society
a. Kategori O : tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi,
riwayat kontak tidak pernah, tes tuberculin negatif.
b. Kategori I : Terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti
adanya infeksi, disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
c. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit
d. Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
2.4.3.
Klasifikasi yang sering dipakai di Indonesia adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiolis dan mikrobiologis.
a. Tubercolosis paru
b. Bekas tuberculosis paru
c. Tuberculosis paru tersangka
·
Tuberculosis
paru yang terobati. Disini sputum BTA ( negatif ) tetapi tanda-tanda lain
positif .
·
Tuberculosis
paru tersangka yang tidak diobati.Disini sputum negatif dan tanda-tanda lain
juga meragukan
2.4.4.
Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :
a. Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan
sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat.
b. Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan
kasus gagal dengan sputum BTA positf
c. Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif
dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang
disebut dalam kategori I.
d. Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.
2.5
MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama TB paru adalah batuk lebih
dari 4 minggu, dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat
rendah, anorexia, berkeringat malam hari, nyeri dada, anemia dan batuk darah.
Pasien dengan TB paru menampakkan gejala klinis antara lain tahap asimptomatis,
gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi, eksaserbasi yang
memburuk, gejala yang berulang dan menjadi kronik. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda-tanda antara lain tanda-tanda infiltrat ( redup, ronkhi basa,
bronkhial dll ), tanda-tanda penarikan paru dan mediastinum, secret disaluran
nafas dan ronkhi, suara nafas amforik karena adanya kafitas yang berhubungan
langsung dengan bronkus.
Gejala Klinis tuberculosa yang paling sering
ditemukan pada penderita AIDS yaitu TB Paru
:
1.
Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influenza).
2.
Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4.
Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5.
Malaise, anoreksia, kurus, pusing, meriang, nyeri otot, keringat malam.
2.6
PATOFISIOLOGI
Penularan tuberculosis paru terjadi
karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,
tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan
gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas
atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5
mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (
biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya
lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan
limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil
yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan
penyakit ( Dannenberg 1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian
bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah
tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah
hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul geja pneumonia akut. Pneumonia
seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan
berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam
sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi
oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada
bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon
yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut
yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru
dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional
dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi
didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi
kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil
dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut
fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan
lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu
lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan
aktif.
Penyakit dapat
menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari
kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang
dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut
limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya
merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang
masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya
(Bagan Patofisiologi
terlampir)
2.7
KOMPLIKASI
1. TBC tulang
2. Potts disease : rusaknya tulang belakang
3. Distroyed lung ( Pulmonary distruction )
4. Effusi pleura
5. TBC milier
6. Meningitis TBC
.
2.8
PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK TBC PARU
Tuberkulosis
paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini berupa suatu koplek
kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya terdapat di apeks dan
segmen posterior lobus atas paru – paru atau pada segmen superior lobus bawah.
(Dr. dr. Soeparman. 1998. Hal 719)
a). Pemeriksaan
laboratorium
§ Darah
: Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putting yang meningkatkan serta laju
endap darah meningkat terjadi pada proses aktif. (Head Al Sagaff. 1995. Hal 91)
§ Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum yang terdapat pada
penderita tuberkulosis paru yang biasanya diambil pada pagi hari. (DR. Dr.
Soeparman dkk, 1998. Hal 719, Barbara. T. long. Long. Hal 447, th 1996)
§ Test
Tuberkulosis
Test tuberkulosis memberikan
bukti apakah orang yang dites telah mengalami infeksi atau belum. Tes
menggunakan dua jenis bahan yang diberikan yaitu : Old tuberkulosis (OT) dan
Purifled Protein Derivative (PPD) yang diberikan dengan sebuah jarum pendek
(1/2 inci) no 24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1 yang
mempunyai kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis
atau 5 tuberkulosis unit (5 TU). Reaksi
dianggap bermakna jika diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm
dianggap meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui selama 48 – 72
jam tuberkulosis disuntikkan. (DR. Dr. Soeparman, 1998, hal 721, Sylvia. A.
price, 1995, hal 755, Barbara. C. long, 1996, hal 446)
b) Pemeriksaan Radiologi
Rontgen dada (foto thorak) akan didapatkan gambaran paru
c) Pemeriksaan Patologi Anatomi
2.9
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru
selain untuk mengobati juga mnecegah kematian, mencegah kekambuhan atau
resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Dengan demikian
modifikasi secara medis dan keperawatan menentukan keberhasila terapi sehingga
perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
·
Penyuluhan
Pemberian pendidikan kesehatan tentang TB paru sangat penting untuk
meningkatkan pengetahuan. Pada penderita dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap
terapi dan pada orang sehat dapat meningakatkan pengetahuan dan kewaspadaan
terhadap penularan TB paru.
·
Pencegahan
Pencegahan dilakukan
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi. Kondisi imum yang menurun
dapat mempermudah terjadinya infeksi. Jika ada orang yang dicurigai menderita
TB paru dapat menggunakan masker, peralatan makan yang tidak dipakai penderita
dan
·
Pemberian obat-obatan :
1. OAT
(obat anti tuberkulosa) :
2. Bronchodilatator
3. Expektoran
4. OBH
5. Vitamin
·
Fisioterapi dan rehabilitasi
Fisioterapi dapat bermanfaat meningkatkan energi penderita. Pada penderita
TB paru seringkali ditemukan penirunan berat badan yang berakibat kelemahan
untuk melakukan aktifitas. Dengan terapi fisik dan rehabilitasi energi dapat
dipergunakan secara optimal.
·
Konsultasi secara teratur
Konsultai dimaksudkan untuk memonitor
pelaksanaan terapi. Efek samping dari pengobatan dapat dimungkinkan. Pemilihan
kombinasi obat OAT yang tepat dapat menjadi pilihan sesuai dengan kondisi
penderita.
Pengobatan
tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan
obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO
adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis
obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam
Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama
dapat dilihat pada tabel berikut:
Obat
Anti TB Esensial
|
Aksi
|
Potensi
|
Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)
|
||
Per
Hari
|
Per
Minggu
|
||||
3
x
|
2
x
|
||||
Isoniazid
(H)
Rifampisin
(R)
Pirasinamid
(Z)
Streptomisin
(S)
Etambutol
(E)
|
Bakterisidal
Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik
|
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
|
5
10
25
15
15
|
10
10
35
15
30
|
15
10
50
15
45
|
Untuk
keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan
lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik,
hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman
tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari
lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil
keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis
TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan
di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan
TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum
obat setiap hari.
4. Kesinambungan
ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Di indonesia program pemberian terapi OAT berpedoman pada :
Kategori I : 2RHZE(S) + 4H3E3
Ket: terapi ditujukan
terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat
Dalam 2 bulan penderita mendapat RHZE setiap hari atau ES dilanjutkan selama 4
bulan HE diminum seminggu 3 kali
Kategori II : 2RHZS +RHZE+ 6 H3R3E3
2. Komplikasi
Pneumothorax adalah keadaan dimana
terdapat udara dalam rongga pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya
paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga
pleura melalui 3 jalan, yakni:
- Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di dinding dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik).
- Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada penyakit infeksi paru (pneumothorax spontan)
- Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan pembedahan pada trauma.
Penumothorax pada TB paru merupakan
pneumothorax spontan yang timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai
pinggir jaringan parut parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke
dalam pleura.
3. Asuhan
Keperawatan
- Pengkajian
1). Identitas
klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat),
pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya
riwayat kontak dengan penderita TB paru yang lain.
2). Riwayat
penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau
gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas,
batuk, nyeri dada, lesi pada kulit, diare, keringat malam, nyeri abdomen,
kelemahan, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat (demam) mendorong
penderita untuk mencari pengonbatan.
3). Riwayat
penyakit dahulu
Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko
tinggi, menggunakan obat-obat. Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah
diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara
lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
4). Riwayat
penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga yang mengidap HIV atau
tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan
penularannya.
5). Riwayat
psikososial
Riwayat pergaulan, penyalahgunaan obat terlarang, sex
bebas, depresi karena masalah keluarga atau sosial, kehilangan pekerjaan dan
penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis,
pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain
6). Status
mental dan spiritual
Kondisi marah atau pasrah, denial, depresi, ide bunuh
diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan
proses pikir, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan
delusi. Keyakinan pada Tuhan, motivasi, ibadah dan mekanisme koping.
7). Pola
fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang
berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek. Penderita HIV seringkali ditemukan mempunyai riwayat
mengkonsumsi alcohol, penggunaan obat terlarang, pergaulan bebas.
b). Pola
nutrisi dan metabolik
Pada pasien HIV dengan TB paru biasanya terjadi penurunan
absorpsi zat gizi, peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh, mengeluh anoreksia,
nafsu makan menurun, perurunan berat badan, gangguan pencernaan .
c). Pola
eliminasi
Klien HIV dengan TB paru
rentan mengalami diare dan infeksi saluran kemih.
d). Pola
aktivitas dan latihan
Dengan adanya kelemahan
fisik kerena penurunan imunitas, batuk, sesak napas dan nyeri dada akan
menganggu aktivitas. Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak
napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya
kenyamanan tidur dan istirahatPola hubungan dan peran
e). Pola
sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa,
penglihatan, dan pendengaran) bias jadi mengalami gangguan karena infeksi
virus.
f). Pola
persepsi dan konsep diri
Pada penderita HIV seringkali mempunyai harga diri rendah
karena isolasi social ditambah dengan nyeri dan sesak napas yang diakibatkan
gejala TB paru biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa khawatir klien tentang
penyakitnya hingga menimbulkan depresi dan memungkinkan meningkatkan resiko
suicide.
Klien HIV dengan TB paru
akan mengalami perasaan terisolir karena penyakit menular .
g). Pola
reproduksi dan seksual
Pada penderita HIV dengan TB paru akan mengalami
perubahan pola reproduksi dan seksual
akan berubah karena penyakit menular seksual yang dideritanya serta kelemahan
fisik yang dialaminya.
h). Pola
penanggulangan stress
Penderita HIV dengan TB
paru semakin meningkat stressornya. proses pengobatan yang lama > 6 bulan
lamanya bahkan bisa bertambah. Penurunan kepatuhan terapi dapat terjadi dengan
adanya kejenuhan akan terapi
i). Pola
tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas,
nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.
8). Pemeriksaan
fisik
Berdasarkan
sistem – sistem tubuh
a). Sistem
integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor
kulit menurun kering, gatal, rash atau lesi, petekie positif, edem muka,
terdapat lesi pada integumen.
b). Sistem
pernapasan
Pada sistem pernapasan
pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
·
inspeksi
: adanya tanda – tanda penarikan paru,
diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah, epsitaksis.
§ Palpasi : Fremitus suara meningkat
§ Perkusi :
Suara ketok redup(dullness)
§ Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki
basah, kasar dan yang nyaring.
Spuntum :
hijau/purulen, kekuningan, pink.
c). Sistem
pengindraan
Pada klien HIV dengan TB paru untuk pengindraan dapat
terjadi gangguan yang disebabkan oleh infeksi virus : nyeri periorbital,
fotophobia
d). Sistem
kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2
yang mengeras., hipotensi, edem perifer, dizziness.
e). Sistem
gastrointestinal
Ulser pada bibir atau
mulut, mulut kering, nafsu makan menurun/disfagia , anoreksia, berat badan
turun disertai diare kronis.
f). Sistem
muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang
tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan: focal motor deifisit,
lemah, tidak mampu melakukan ADL.
g). Sistem
neurologist
Sakit kepala, gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
h). Sistem
genetalia
lesi atau eksudat pada genital,
B. Diagnosa keperawatan
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh, kerusakan kulit
- Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas oleh sekret sputum
- Intoleransi aktifitas berhunubgan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
- Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, peningkatan sputum/ batuk, intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi dengan nyeri lesi di mulut, penurunan nafsu makan, dan efek medikasi, infeksi (, nausea dan vomiting, gangguan menelan).
- Harga diri rendah berhubungan dengan isolasi sosial
- Koping keluarga inefektif berhubungan dengan resiko tinggi penulranan penyakit , kecemasan, isolasi social
- Koping individu inefektif: depresi berhubungan dengan kecemasan terhadap penyakitnya, harga diri yang rendah
- Pola nafas inefektif berhubungan dengan gas tidak dapat berdifusi dengan baik, sesak
- Nyeri akut berhubungan dengan infiltrasi cairan ke rongga pleura, sesak
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar kapilng
- Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan kepatuhan terapi
Rencana Keperawatan
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Perencanaan
Keperawatan
|
||
Tujuan dan criteria
hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
||
1
|
Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh (imunosupresi)
|
Pasien akan
bebas infeksi oportunistik dankomplikasinya
kriteria hasil:
tak ada
tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam
batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
|
1.
observasi tanda-tanda vital
2.
Monitor tanda-tanda infeksi baru.
3.
gunakan teknik aseptik
pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum memberikan tindakan.
4.
Anjurkan pasien metoda
mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
5.
Kumpulkan spesimen
untuk tes lab sesuai order.
6.
kolaborasi pemberian antibiotik
|
Untuk
mengetahui fungsi vital tubuh
Untuk
pengobatan dini
Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang
diperoleh di rumah sakit.
Mencegah bertambahnya infeksi
Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
|
2
|
Bersihan jalan
nafas inefektif berhubungan dengan adanya sumbatan seret/sputum
|
jalan nafas cukup
adekuat untuk respirasi
criteria hasil:
RR 16-20 x/menit
Sianosis(-)
|
1.
gunakan masker ketika
kontak dengan pasien
2.
kaji adanya secret purulen
3.
.
4.
Gunakan darah dan cairan tubuh
|
Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
|
3
|
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
|
Pasien berpartisipasi
dalam kegiatan
kriteria hasil;
bebas dyspnea
dan takikardi selama aktivitas.
|
1.
Monitor respon fisiologis terhadap
aktivitas
2.
Berikan bantuan
perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.
Jadwalkan perawatan
pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
|
Respon bervariasi dari hari ke hari
Mengurangi kebutuhan energi
Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan
kebutuhan metabolik
|
4
|
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
|
Pasien
mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya.
Criteria hasil:
mual dan muntah
dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal,
BB mendekati seperti sebelum sakit.
|
1.
Monitor kemampuan
mengunyah dan menelan.
2.
Monitor BB, intake dan ouput
3.
Atur antiemetik sesuai order
4.
Rencanakan diet dengan
pasien dan orang penting lainnya.
|
Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan
mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
|
5
|
Harga
diri rendah berhubungan dengan isolasi sosial
|
Pasien
mengungkapkan perasaan yang berkaitan dengan harga diri dan mengungkapkan
penerimaan diri
Criteria hasil:
Koping positif
Harga diri
meningkat
|
1.
BHSP
2.
Bantu pasien
mengungkapkan perasaan rendah dirinya
3.
Bantu pasien
mengidentifikasi perasaan rendah dirinya
4.
Bantu klien memotivasi diri dan memunculkan
perasaan positif
5.
dukung interaksi yang
positif dengan keluarga klien dan beri penjelasan tentang AIDS
|
Klien dapat mempercayai perawat
Mengeksplorasi perasaan klien
Klien dapat mengidentifikakasi peraannya
Meningkatkan kepercayaan diri klien
Membangun koping keluraga efektifdan meningkatkan
penerimaan klien dalam keluarga
|
6
|
Tidak efektif
koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
|
Keluarga atau
orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap
perubahan akan kebutuhannya
kriteria hasil
:
pasien dan
keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
|
1.
BHSP
2.
Bantu keluarga
mendiskusikan dampak penyakit pasien dan perasaan mereka
3.
berikan informasi yang
jelas dan ringkas kepada keluarga tentang kondisi klien
4.
berikan dukungan emosianal kepada keluarga
1.
berikan informasi yang
adekuat tentang cata merawat klien
|
Keluarga mempercayai perawat
Membantu keluarga mengetahiu dampak yang merisaukan
Meluruskan persepsi keluarga akan kondisi klien dan
asumsi-asumsi yang memberatkan klien
Empati perawat sebagai wujud ketulusan perawatan
Membantu keluarga cara merawat klien dengan benar dan
terhindar dari resiko tertular
|
7
|
koping
individu inefektif: depresi
berhubungan dengan kecemasan terhadap penyakitnya, harga diri yang
rendah
|
Klien dapat mengembangkan
koping yang positif
Criteria hasil:
Skala ansietas
berkurang
|
1.
kaji koping yang dikembangkan klien
2.
identifikasi kecemasan klien
3.
Bantu klien menemukan
koping adaptif yang bisa dikembangkan
4.
berikan penghargaan atas usaha klien
5.
berikan saran-saran
yang dapat menurunkan kecemasan klien
6.
kolaborasi penggunaan antiansietas bila
diperlukan
|
Mengetahui
status koping klien
Menilai
tingkat kecemasan klien
Mencari koping alternatif adaptif yang sesuai dengan
karakter klien
Meningkatkan rasa percaya diri klien
Memberikan klien pilhan dan pengetahuan
Menurunkan kecemasan klien secara medis
|
8
|
pola
nafas inefektif berhubungan dengan gas tidak dapat berdifusi dengan baik,
sesak (nyeri)
|
Klien dapat
bernapas secara adekuat
Criteria hasil:
Nyeri menurun
Sesak (-)
RR dalam batas
normal
|
1.
kaji pola napas klien
2.
lakukan fisioterapi dada untuk membantu
mobilisasi dan pembersihan secret
3.
berikan kesempatan
klien untuk beristirahat diantara tindakan
4.
berikan O2 sesuai program
5.
ajarkan teknik relaksasi yang sesuai
6.
kolaborasi pemberian analgesik
|
Menilai
keadekuatan pola napas klien
Meningkatkan bersihan jalan napas dan usaha bernapas
Untuk memperlancar pernapasan dan menghindari keletihan
Meningkatkan intake O2
Menurunkan ansietas dan rasa nyeri secara hipnotik
Menurunkan/menghilangkan
nyeri secara farmakologis
|
9
|
nyeri
akut berhubungan dengan infiltrasi cairan ke rongga pleura, sesak
|
Klien melaporkan
nyeri berkurang
|
7.
kaji nyeri yang dirasakan klien
8.
berikan posisi senyaman mungkin
9.
kolaborasi pemberian analgetik
|
Mengetahui
skala nyeri klien
Meningkatkan
kenyamanan klien
Menurunkan/menghilangkan rasa nyeri secara farmakologis
|
10
|
Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membrane alveolar kapiler
|
Klien dapat
mempertahankan ventilasi yang adekuat
Criteria hasil:
RR <
25x/menit
Sianosi (-)
Hipoksia (-)
|
1.
pantau tanda-tanda vital klien
2.
auskultasi paru setiap 4 jam
3.
kolaborasi pemberian O2
|
Mengetahui
kondisi klien
Mendeteksi
adanya krepitasi
Meningkatkan
intake O2
|
11
|
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan kepatuhan terhadap terapi
|
Pengetahuan
klien meningkat
Criteria hasil:
Klien dapat
menjelaskan pentingnya kepatuhan terapi dan dampak bila tidak patuh
Klien mematuhi
terapi yang diprogramkan
|
1.
kaji pengetahuan klien
tentang penyakitnya dan kepatuhan terapi
2.
jelaskan pentingnya
kepatuhan terhadap terapi, keuntungan dan dampak ketidakpatuhan
3.
beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan alasan ketidakpatuhan
4.
libatkan keluarga dalam memonitor pelaksanaan
terapi klien
|
Mengetahui
persepsi klien
Meningkatkan
pengetahuan klien
Mengetahui
penyebab ketidakpatuhan
Meningkatkan peran keluarga dalam perawatan klien
|
Daftar pustaka
Amin muhammad, Hood Alsagaff. (1989). Pengantar
Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Blac,MJ
Jacob. (1993). l.uckman & Sorensen’s
Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach. W.B. Saunders
Company. Philapidelpia.
Barbara
Engram. (1999). Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC. Jakarta.
Carpenito
(2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi
pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC, Jakarta
Christine
L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic
Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Diana C. Baughman. ( 2000 ), Patofisiologi,
EGC, Jakarta.
Doenges
at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
Ed.3, EGC, Jakarta
Grimes,
E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious
Diseases, Mosby Year Book, Toronto.
Hudak & Gallo, ( 1997 ). Keperawatan kritis
: suatu pendekatan holistic, EGC,
Jakarta
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Lyke,
Merchant Evelyn, 1992, Assesing for
Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta
Kedokteran. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius
Phipps,
Wilma. et al, 1991, Medical Surgical
Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby
Year Book, Toronto
Price
& Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.
Soedarsono (2000), Tuberkulosis
Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru FK
Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990).
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Sylvia
Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. EGC. Jakarta.
PATHWAY
0 Reviews